Sesampainya di
Ataturk Airport, saya harus mengantri sekitar setengah jam lebih untuk urusan
keimigrasian. Banyak sekali turis-turis berdatangan dari daerah arab dan eropa,
karena memang bulan Mei udara mulai hangat di Istanbul. Ketika saya ingin ambil
troli untuk koper, ternyata dikunci yang bisa dibuka dengan semacam koin, yah
intinya kita perlu bayar buat pakai troli (menyebalkan bukan?). akhirnya saya
tidak pakai troli karena ribet dan saya saat itu belum menukar uang saya ke
mata uang Turki, yaitu Lira. Sebenarnya dari bandara saya ingin menghubungi
teman saya untuk mengantarkan saya ke terminal bis, namun karena mendapatkan
akses wifi di airpot ini tidak semudah di Singapur, saya memtuskan untuk pergi
ke terminal bis sendiri. Di airport, saya membeli kartu perdana untuk berkomunikasi selama di Turki. Harga
kartu perdana memang jauh lebih mahal di airport, hufft tapi terpaksa saya harus
beli disini, kartu perdana yang saya beli adalah Avea (internet 2GB, dan gratis beberapa sms serta telepon) dengan
harga 27 Dollar Amerika, bahasa Turkinya çok
pahalı yaaa… mahal sekali yaaa. Setelah membeli kartu perdana saya menukar
uang di airport dengan nilai tukar kurang lebih 1 USD = 2 TL (Turkish Lira).
Keluar dari airport, saya mencari stasiun metro namun saya tidak menemukan tanda-tandanya,
saya bertanya kepada security di airport hingga dua kali dan kedua-duanya tidak
bisa berbahasa inggris mereka
menjelaskan dengan Bahasa Turki dan isyarat tangan, saya mengikuti
isyarat nya namun tetap tidak menemukan ada tanda keberadaan stasiun
metro. Tidak mungkin naik taksi,
Istanbul terkenal dengan kemacetan yang luar biasa dan otomatis tarif taksi
jadi selangit. Saya terus berjalan menyusuri pintu luar airport kemudian
seorang bapak menyapa saya dan bertanya say hendak kemana dengan Bahasa
Inggris, saya jelasksan saya mencari metro stasiun dan bapak Turki itu pun
mengantarkan saya hingga saya melihat papan petunjuk menuju metro stasiun. Metro stasiun ada di lantai dasar airport.
Di stasiun metro, saat menggunakan mesin penukaran uang
dengan token yang berbahasa Turki, saya pun bingung. Lalu saya meminta bantuan kepada orang Turki
sekitar untuk menggunakan mesin itu. Setelah mendapatkan token dengan uang 3
Lira, saya masuk gerbang dan melihat papan jalur metro. Saya bingung harus naik
jalur merah atau hijau, saat itu saya bertanya kepada laki-laki yang membuka
peta kota Istanbul lengkap dengan jalur metro. Laki-laki tersebut adalah Turis
dari Chile(kalau tidak salah), dia bilang bahwa tujuan saya, Otogar (stasiun bis),
kebetulan searah dengan tempat tujuanya, Istiklal street. Kami pun naik metro
jalur merah, di dalam kita berbincang-bincang, ternyata dia pernah ke Indonesia
untuk insternship dan dia di Istanbul hanya transit saja. Setelah turis dari
Chile itu turun, saya berbincang dengan cowok Turki yang berdiri disebelah
saya, dia sangat baik bersedia menujukkan tempat dimana saya harus turun.
Namanya Gokhan (kalau tidak salah), dia baru pulang dari Roma untuk pertukaran
pelajar katanya. Saya bertanya dimana saya bisa membeli kartu untuk naik metro,
dan dia malah memberikan saya kartu miliknya yang masih bisa digunakan 2 hingga
3 kali. Saya menolaknya dengan halus, namun dia memaksa untuk memberikan
kartunya, dia bilang dia masih punya 2 kartu lagi di rumah, jadilah saya terima
kartu itu.
Istanbul Kart ini bisa dipakai untuk naik segala bentuk
transportasi umum kecuali dolmus (semacan angkot).
Setelah saya turun
dari Metro, ada laki-laki Turki berkemeja putih layaknya orang yang baru pulang
kerja bertanya saya hendak kemana dan mengajak saya untuk berjalan-jalan dengan
dia, saya ingat orang ini tadinya mengamati saya di dalam metro saat saya berbincang
dengan Gokhan. Llaki-laki itu aneh, saya pun langsung lari mencari tempat
pembelian tiket bis.
Sebelum membeli tiket bis, saya melihat ada semacam café
(dalam Bahasa Turki disebut Lokanta)
bernama Demirbaş
Büfe, dan memutuskan untuk duduk minum 2 cangkir teh dulu sambil membuat
catatan kecil dan menikmati udara sore di Turki yang spoi-spoi.
Ini adalah gambar café ala Turki. Banyak café yang
kursi-kursinya di tata luar karena memang udara luar tidak banyak polusi.
Kalau ini adalah çay
atau teh Turki. Orang Turki selalu minum teh setiap saat, pokoknya tiada hari
tanpa teh, dan minumnya dengan gelas kecil yang berbentuk seperti tulip ini. Satu gelas teh dihargai 2 TL (Rp.12.000).
Terminal bus di sini tertata rapi dan bersih. Di Turki,
penumpang duduk di nomor kursi yang telah tertulis di tiket. Selain itu, di
sini penumpang laki-laki duduk dengan sesama laki-laki, begitu juga dengan
penumpang wanita, ini adalah sistem islami di Negara sekuler. Untuk bis antar
provinsi atau kota biasanya dilengkapi dengan entertaining screen, headphone,
wifi dan seorang pramusaji laki-laki tampan yang akan memberikan minuman dan
snacks ke penumpang. Dari pengamatan saya, bis antar kota yang paling murah
adalah Metro namun entertaining
screen dan head-phone nya sering tidak berfungsi, ada juga bis Pamukkale
yang lebih nyaman dan lebıh mahal tentunya (lantai bis dari kayu dan semua
perangkat hiburan berfungsi), pilihan lainya adalah bıs Koç yang harganya juga tıdak semurah Metro.
Gambar dibawah ini adalah dertan tempat penjualan tiket
bis di stasiun Esenler, ada banyak sekali, tinggal pilih ingin naik servis bis
yang mana. Nah, busnya ada di balik gedung ini, jadi setelah beli tiket dan
mendapatkan nomor kursi, para penumpang menuggu di belakang tempat pembelian
tiket.
Setelah
saya selesai minum teh, saya pergi mencari papan perusahaan bis jurusan Cerkezköy. Seperti terminal di
Indonesia, banyak bapak-bapak dan mas-mas di depan konter tiket bertanya saya
mau kemana. Saya berhenti dan menjawab pertanyaan pak tua pegawai perusahaan
bis Metro, saya tanya di mana toilet umum. Dia menunjukan saya dan menawarkan
agar koper dan ransel saya dititipkan di kantornya, lalu saya titipkan barang-barang
saya. Saat saya berjalan ke toilet saya bebarengan dengan seorang pelayan yang
mengantarkan teh saya tadi dan anehnya saat saya keluar dari toilet, mas
pelayan tadi berdiri di depan toilet wanita dan tersenyum kepada saya (saya pun
kaget dan berfikir mas ini aneh sekali ya), tanpa berkata-kata saya kembali ke
kantor bis Metro untuk mengambil barang saya. Saya kembali bertanya apa nama
bis jurusan Cerkezköy,
bapak tua yang baik itu menuliskan dan menunjukan kantor bis YONCA kepada saya.
Saya membeli tiket di YONCA, ini adalah servis bis yang
akan saya gunakan menuju Cerkezköy, ke tempat volunteer yang pertama, yaitu
peternakan sapi. Harga tiket bis ini adalah 17 TL.
Di dalam bus, saya duduk dengan seorang ibu bernama
Muradiye Turgud. Ibu itu mengajak saya ngobrol dengan Bahasa Turki, saya bisa
mengerti sedikit-sedikit menjawab sebisa saya dengan bantuan kamus di tablet
saya. Ibu itu langsung mengakrabkan diri dengan saya, dia menceritakan anak
perempuanya yang seumuran dengan saya, menunjukan fotonya, bahkan dia meminta
buku catatan kecil yang saya pegang untuk menuliskan nomer teleponya. Ibu itu
berpergian dengan suaminya yang duduk tepat di depan kami, dari sini saya tahu
bahwa di Turki penumpang berlainan gender tidak boleh duduk bersama bahkan
pasangan suami istri sekalipun.
Sepanjang perjalanan saya melihat bukit-bukit nan hijau,
masjid cantik, dan beberapa rumah. Setelah sekitar 1 jam perjalanan saya turun
di tengah jalan, yaitu di desa büyükcavuslu,
dı sana Aysun, sang empunya peternakan, telah menunggu saya bersama mobilnya.
No comments:
Post a Comment