Tuesday, January 24, 2017

dari Ataturk airport ke peternakan sapi


 Sesampainya di Ataturk Airport, saya harus mengantri sekitar setengah jam lebih untuk urusan keimigrasian. Banyak sekali turis-turis berdatangan dari daerah arab dan eropa, karena memang bulan Mei udara mulai hangat di Istanbul. Ketika saya ingin ambil troli untuk koper, ternyata dikunci yang bisa dibuka dengan semacam koin, yah intinya kita perlu bayar buat pakai troli (menyebalkan bukan?). akhirnya saya tidak pakai troli karena ribet dan saya saat itu belum menukar uang saya ke mata uang Turki, yaitu Lira. Sebenarnya dari bandara saya ingin menghubungi teman saya untuk mengantarkan saya ke terminal bis, namun karena mendapatkan akses wifi di airpot ini tidak semudah di Singapur, saya memtuskan untuk pergi ke terminal bis sendiri. Di airport, saya membeli kartu perdana  untuk berkomunikasi selama di Turki. Harga kartu perdana memang jauh lebih mahal di airport, hufft tapi terpaksa saya harus beli disini, kartu perdana yang saya beli adalah Avea  (internet 2GB,  dan gratis beberapa sms serta telepon) dengan harga 27 Dollar Amerika, bahasa Turkinya çok pahalı yaaa… mahal sekali yaaa. Setelah membeli kartu perdana saya menukar uang di airport dengan nilai tukar kurang lebih 1 USD = 2 TL (Turkish Lira).
Keluar dari airport, saya mencari  stasiun metro namun saya tidak menemukan tanda-tandanya, saya bertanya kepada security di airport hingga dua kali dan kedua-duanya tidak bisa berbahasa inggris mereka  menjelaskan dengan Bahasa Turki dan isyarat tangan, saya mengikuti isyarat nya namun tetap tidak menemukan ada tanda keberadaan stasiun metro.  Tidak mungkin naik taksi, Istanbul terkenal dengan kemacetan yang luar biasa dan otomatis tarif taksi jadi selangit. Saya terus berjalan menyusuri pintu luar airport kemudian seorang bapak menyapa saya dan bertanya say hendak kemana dengan Bahasa Inggris, saya jelasksan saya mencari metro stasiun dan bapak Turki itu pun mengantarkan saya hingga saya melihat papan petunjuk menuju metro stasiun.  Metro stasiun ada di lantai dasar airport.
Di stasiun metro, saat menggunakan mesin penukaran uang dengan token yang berbahasa Turki, saya pun bingung.  Lalu saya meminta bantuan kepada orang Turki sekitar untuk menggunakan mesin itu. Setelah mendapatkan token dengan uang 3 Lira, saya masuk gerbang dan melihat papan jalur metro. Saya bingung harus naik jalur merah atau hijau, saat itu saya bertanya kepada laki-laki yang membuka peta kota Istanbul lengkap dengan jalur metro. Laki-laki tersebut adalah Turis dari Chile(kalau tidak salah), dia bilang bahwa tujuan saya, Otogar (stasiun bis), kebetulan searah dengan tempat tujuanya, Istiklal street. Kami pun naik metro jalur merah, di dalam kita berbincang-bincang, ternyata dia pernah ke Indonesia untuk insternship dan dia di Istanbul hanya transit saja. Setelah turis dari Chile itu turun, saya berbincang dengan cowok Turki yang berdiri disebelah saya, dia sangat baik bersedia menujukkan tempat dimana saya harus turun. Namanya Gokhan (kalau tidak salah), dia baru pulang dari Roma untuk pertukaran pelajar katanya. Saya bertanya dimana saya bisa membeli kartu untuk naik metro, dan dia malah memberikan saya kartu miliknya yang masih bisa digunakan 2 hingga 3 kali. Saya menolaknya dengan halus, namun dia memaksa untuk memberikan kartunya, dia bilang dia masih punya 2 kartu lagi di rumah, jadilah saya terima kartu itu.
Istanbul Kart ini bisa dipakai untuk naik segala bentuk transportasi umum kecuali dolmus (semacan angkot).

 Setelah saya turun dari Metro, ada laki-laki Turki berkemeja putih layaknya orang yang baru pulang kerja bertanya saya hendak kemana dan mengajak saya untuk berjalan-jalan dengan dia, saya ingat orang ini tadinya mengamati saya di dalam metro saat saya berbincang dengan Gokhan. Llaki-laki itu aneh, saya pun langsung lari mencari tempat pembelian tiket bis.
Sebelum membeli tiket bis, saya melihat ada semacam café (dalam Bahasa Turki disebut Lokanta) bernama Demirbaş Büfe, dan memutuskan untuk duduk minum 2 cangkir teh dulu sambil membuat catatan kecil dan menikmati udara sore di Turki yang spoi-spoi.
Ini adalah gambar café ala Turki. Banyak café yang kursi-kursinya di tata luar karena memang udara luar tidak banyak polusi.



Kalau ini adalah çay atau teh Turki. Orang Turki selalu minum teh setiap saat, pokoknya tiada hari tanpa teh, dan minumnya dengan gelas kecil yang berbentuk seperti tulip ini.  Satu gelas teh dihargai 2 TL (Rp.12.000).
Terminal bus di sini tertata rapi dan bersih. Di Turki, penumpang duduk di nomor kursi yang telah tertulis di tiket. Selain itu, di sini penumpang laki-laki duduk dengan sesama laki-laki, begitu juga dengan penumpang wanita, ini adalah sistem islami di Negara sekuler. Untuk bis antar provinsi atau kota biasanya dilengkapi dengan entertaining screen, headphone, wifi dan seorang pramusaji laki-laki tampan yang akan memberikan minuman dan snacks ke penumpang. Dari pengamatan saya, bis antar kota yang paling murah adalah Metro namun entertaining screen dan head-phone nya sering tidak berfungsi, ada juga bis Pamukkale yang lebih nyaman dan lebıh mahal tentunya (lantai bis dari kayu dan semua perangkat hiburan berfungsi), pilihan lainya adalah bıs Koç yang harganya juga tıdak semurah Metro.
Gambar dibawah ini adalah dertan tempat penjualan tiket bis di stasiun Esenler, ada banyak sekali, tinggal pilih ingin naik servis bis yang mana. Nah, busnya ada di balik gedung ini, jadi setelah beli tiket dan mendapatkan nomor kursi, para penumpang menuggu di belakang tempat pembelian tiket.
 
Setelah saya selesai minum teh, saya pergi mencari papan perusahaan bis jurusan Cerkezköy. Seperti terminal di Indonesia, banyak bapak-bapak dan mas-mas di depan konter tiket bertanya saya mau kemana. Saya berhenti dan menjawab pertanyaan pak tua pegawai perusahaan bis Metro, saya tanya di mana toilet umum. Dia menunjukan saya dan menawarkan agar koper dan ransel saya dititipkan di kantornya, lalu saya titipkan barang-barang saya. Saat saya berjalan ke toilet saya bebarengan dengan seorang pelayan yang mengantarkan teh saya tadi dan anehnya saat saya keluar dari toilet, mas pelayan tadi berdiri di depan toilet wanita dan tersenyum kepada saya (saya pun kaget dan berfikir mas ini aneh sekali ya), tanpa berkata-kata saya kembali ke kantor bis Metro untuk mengambil barang saya. Saya kembali bertanya apa nama bis jurusan Cerkezköy, bapak tua yang baik itu menuliskan dan menunjukan kantor bis YONCA kepada saya.
Saya membeli tiket di YONCA, ini adalah servis bis yang akan saya gunakan menuju Cerkezköy, ke tempat volunteer yang pertama, yaitu peternakan sapi. Harga tiket bis ini adalah 17 TL.
Di dalam bus, saya duduk dengan seorang ibu bernama Muradiye Turgud. Ibu itu mengajak saya ngobrol dengan Bahasa Turki, saya bisa mengerti sedikit-sedikit menjawab sebisa saya dengan bantuan kamus di tablet saya. Ibu itu langsung mengakrabkan diri dengan saya, dia menceritakan anak perempuanya yang seumuran dengan saya, menunjukan fotonya, bahkan dia meminta buku catatan kecil yang saya pegang untuk menuliskan nomer teleponya. Ibu itu berpergian dengan suaminya yang duduk tepat di depan kami, dari sini saya tahu bahwa di Turki penumpang berlainan gender tidak boleh duduk bersama bahkan pasangan suami istri sekalipun.

Sepanjang perjalanan saya melihat bukit-bukit nan hijau, masjid cantik, dan beberapa rumah. Setelah sekitar 1 jam perjalanan saya turun di tengah jalan, yaitu di desa büyükcavuslu, dı sana Aysun, sang empunya peternakan, telah menunggu saya bersama mobilnya. 

No comments:

Post a Comment