Tuesday, January 24, 2017

Narasi cerita ke Turki di tahun 2014

Menjejakkan kaki di Turki adalah impian saya sejak masih SMA dulu. Berawal dari asal download sebuah buku (saya lupa judul bukunya) yang mengulas segala hal tentang Turki mulai dari tempat wisata, budaya, tempat bersejarah, makanan, dst yang  mungkin bisa dibilang seperti buku Lonely Planet. Setelah itu saya sangat antusias ketika melihat tayangan di televisi yang menampilkan perjalanan wisata ke Turki. Saya mulai suka download video tentang pariwisata serta kebudayaan Turki , dan tak lupa berdoa kepada Allah agar saya nisa berkunjung ke Turki untuk melihat keagungan Nya dibelhan bumi lain, untuk melihat keindahan Blue Mosque, bukti kejayaan islam di daratan Eropa. Hal-hal tersebut yang saya lakukan semasa SMA dulu. Dahulu sebelum tertarik dengan Turki, saya punya mimpi untuk ke Iran yang juga berasal dari baca buku yang berjudul Pelangi di Persia, yang kemudian saya pun belajar Bahasa Farsi (bahasa orang Iran) dari internet dan banyak mencari tahu tentang Iran. 
Setelah lulus SMA, saya menghabiskan waktu tiga bulan di rumah menunggu dimulainya masa orientasi sebagai mahasiswa baru di Universitas Gadjah Mada. Di rumah selama tiga bulan pun saya habiskan dengan belajar Bahasa Turki secara otodidak dari internet, dan mencoba praktek melalui chatting di Facebook  dengan orang-orang Turki. Salah satu orang Turki yang sering mengobrol dengan saya saat it adalah Nur Cihan. Saya dan Nur Cihan ini mengobrol tentang banyak hal mulai dari keadaan di Turki, sekolah kita, wisata di Turki dan Indonesia, juga tingkah polah si tembem Yavus Salim, adik kecil Nur Cihan yang membuat saya gemas hanya dengan melihat fotonya saja. Suatu hari di masa tiga bulan tersebut saya membaca di internet tentang adanya beasiswa pemerintah Turki yang memberi kesempatan  belajar di Turki gratis untuk program S1 hingga S3, ada juga program kursus singkat bahasa Turki selama musim panas. Akan tetapi, saya agak sedih ketika melihat batas pendaftaran untuk program tersebut telah lewat. Saya cerita ke Ibu saya bahwa jika pendaftaran masih dibuka saya pasti akan ikut daftar karena saya ingin sekali ke Turki. Ibu hanya bilang bahwa apa yang saya dapatkan saat ini, yakni diterima di Jurusan Sastra inggris di UGM adalah yang terbaik untuk saya menurut Allah. Ibu bilang bahwa lebih baik saya menempuh program S1 saya di Indonesia, baru nanti setelah lulus S1 saya bisa coba mencari beasiswa kuliah keluar negeri.
Di semester kedua, saya berfikir untuk mencoba daftar beasiswa dari pemerintah Turrki tersebut walaupun konsekuensinya jika diterima saya harus mengulang lagi dari semester 1. Niat saya tergoyahkan karena jika dihitung-hitung, untuk menyelesaikan program S1 saya perlu waktu lima tahun di Turki (satu tahun kursus wajib Bahasa Turki dan empat tahun kuliah) jika ditambah dengan masa belajar di UGM yang sudah hampir satu tahun maka saya  perlu enam tahun untuk mendapat gelar sarjana terhitung dari tahun lulus SMA. Saya pun mundur tidak jadi mendaftar untuk saat itu, namun saya akan benar-benar mendaftar untuk program S2 nantinya.
Sedikit keluar dari topik tentang Turki….
Pergi berkeliling dunia adalah impian saya sejak kecil, terinspirasi dari Mas Rahman, kakak sepupu saya yang saat menjadi mahasiswa sering mengikuti program pertukaran pelajar. Setelah menjadi mahasiswa UGM saya mencoba daftar program pertukaran pelajar dimulai dari tahun 2012. Pertama kali saya mencoba daftar PCMI namun gagal. Kemudian mencoba daftar program ke Jepang, ke Eropa, ke Amerika  dan masih belum beruntung juga. Kegagalan justru membuat saya terpicu untuk memperbaiki dokumen-dokumen syarat umum program pertukaran pelajar. Saya mengikuti tes TOEFL ITP bulan september 2012 dan score yang saya peroleh saat itu hanya 540, sedangkan syarat umum program pertukaran pelajar biasanya adalah 550. Buah dari usaha dan doa saya dapatkan di akhir semester tiga, di akhir tahun 2012. Setelah berkal-kali gagal, akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program ASEAN Youth Summit selama 10 hari di Chulalongkorn University, Thailand. Sepulang dari Thailand, saya terus mencoba daftar program-program pertukaran pelajar yang ditawarkan, motto saya adalah “jika ada kesempatan, kita harus pintar-pintar memanfaatkanya”, dan menjadi mahasiswa di UGM yang menawarkan banyak sekali program pertukaran pelajar merupkan kesempatan emas yang saya miliki, tinggal mahasiswa yang harus berusaha untuk mengantongi ‘emas’ tersebut.  Kemudian, di akhir semester lima, akhir tahun 2013, saya mendapatkan kesempatan mengikuti program pertukaran pelajar selama satu semester di National University of Singapore. Semua saya dapatkan karena dua hal, usaha dan doa.
Kembali lagi cerita tentang saya dan Turki…
Setelah pulang dari Thailand, saya mengikuti kursus gratis bahasa Turki yang diadakan Fakultas Ilmu Budaya. Kursus ini diajar oleh Bapak Lutfi Ulker, saya dan teman-teman memanggil beliau Lutfi Abi (Abi artinya kakak laki-laki). Ada sekitar 50 mahasiswa yang berpartisipasi di pertemuan awal  hingga kelas pun di bagi menjadi dua dengan hari yang berbeda, namun lama kelamaan jumlah mahasiswa mengerucut dan diakhir kursus hanya ada sekitar 15 mahasiswa yang konsisten ikut kursus ini. Selain ikut kursus gratis ini, saya juga sering ikut sit-in (alias menyelundup) di kelas Bahasa Turki di Jurusan Sastra Asia Barat yang diajar oleh Bapak Ali Dede, namun ditengah semester Pak Ali ini pulang ke Turki untuk menikah dan digantikan oleh dosen muda, orang Indonesia yang pernah belajar di Turki. Saking semangatnya ikut sit-in di kelas Bahasa Turki, saya sering titip absen untuk mata kuliah yang saya ikuti dijurusan saya karena waktu yang bentrok dengan kelas Bahasa Turki, saya pun sampai ikut ujian tengan semester dikelas selundupan saya ini untuk mengetes kemampuan Bahasa Turki saya yang sangat minim ini. Saya banyak searching dan membaca tentang budaya, sejarah serta pariwisata di Turki. Di tengah tahun 2013 saya mendaftar program Youth Summit di Turki selama enam hari dan saya diterima. Namun karena ternyata saya tidak dapat sponsor untuk transportasi dan juga kekhawatiran orang tua karena saat siaran-siaran berita di telivisi gempar dengan protes besar di Istanbul, alhasil saya tidak jadi berangkat. Masih di tahun 2013, saya mendaftar program Yaz Okulu, beasiswa dari pemerintah Turki untuk belajar  bahasa Turki selama musim panas di Turki, namun belum rejeki saya, saya tidah diterima.
Januari 2014 saya berangkat ke Singapura untuk belajar di sana selama satu semester. Saat di Singapur saya berencana untuk pergi ke Istanbul, nanti setelah ujian semester di bulan Mei. Rencana ini pun muncul karena saya jika saya hitung-hitung uang beasiswa yang saya dapatkan dari Temasek Foundation selama di Singapur ini akan tersisa sekitar 25 juta (hasil dari gaya hidup sederhana selama di Singapur dan keaabsenan saya dari tour Thailand-Malaysia yang ditawarkan teman-teman saya).  Saya bergegas  booking tiket, saat itu ada promo dari Emirates Airlines di bulan Maret, jadilah saya beli tiket pesawat pulang pergi  Singapur-Istanbul seharga 1061.70 Dollar Singapur. Rencananya saya akan berkunjung ke Istanbul selama enam hari saja, tanggan 4-10 Mei. Setelah itu, saya mengurus e-visa Turki  semua bisa diurus secara online dengan biaya 25 Dollar Amerika, visa berlaku selama 30 hari saja.
Rencana saya berubah ketika saya menemukan website www.workaway.info. Di website ini saya bisa mencari host atau tuan rumah di negara-negara di seluruh dunia yang menawarkan akomodasi gratis bagi siapa saja yang bersedia menjadi volunteer untuk membantu usaha mereka sehari-hari, ada host yang mempunyai bisnis peternakan, pertanian, sekolah, hotel, restoran, bar, resort, dan ada juga yang membutuhkan baby sitter  (untuk baby sitter biasanya harus penutur asli Bahasa Inggris atau English native).Para host  ini biasanya mensyaratkan para volunteer untuk tinggal selama minimal satu hingga dua minggu. Saya pikir saya bisa menjadi volunteer beberapa minggu sehingga saya bisa lebih lama tinggal di Turki (memaksimalkan visa yang berlaku selama 30 hari) dengan akomodasi gratis ditambah belajar hal baru, dan terutama saya bisa berinteraksi dengan orang lokal sehingga saya bisa belajar lebih tentang budaya dan keseharian orang Turki. Saya mencoba menghubungi beberapa host dan saya  memutuskan untuk menjadi volunteer di tiga tempat yaitu di peternakan sapi di Cerkezkoy-Istanbul, sekolah kuliner di Izmit-Kocaeli , dan perkebunan organik di Fethiye.
Saya juga berencana mengunjungi Bursa untuk bertemu dengan Nur Banu, teman yang saya kenal dari Facebook, kemudian ke Izmir untuk berwisata dan bertemu dengan Nur Cihan teman Turki pertama saya.  Saya juga ingin mengunjungi  tempat lain yaitu Pamukkale, sehingga saya menggunakan website www.couchsurfing.com  untuk mencari teman yang bersedia menjadi teman saya selama disana. Selain itu saya juga mencari teman untuk di wisata di Istanbul nanti, dan saya mendapat respon dari Unzile, orang Istanbul yang sedang kuliah di kota Canakkale. Sayangnya saat saya akan berada di Istanbul akhir Mei, dia harus ke Canakkale karena saat itu kebetulan sedang musim ujian akhir semester di Turki, alhasil Unzile memberitahu saya bahwa ada sepupu laki-lakinya  (3 tahun lebih muda dari saya dan Unzile) dengan Bahasa Inggris level anak SD yang mau menjadi host saya, dia bersedia mengantar saya keliling istanbul dan saya pun sudah disiapkan kamar tidur tersendiri. Sebenarnya saya ingin menerima tawaran tersebut, namun karena sepupunya ini mempunyai dua kakak laki-laki seperti yang dibilang Unzile,  jadilah saya menolak tawaran itu karena saya merasa kurang nyaman. Kemudian saya berkenalan dengan Kubra di website interpals, dia bersedia menjadi host saya selama di Istanbul, namun dia tidak bisa menemani saya berkeliling karena dia harus belajar untuk ujian. Ternyata dulunya, salah satu teman apartment Kubra adalah mahasiswi Indonesia, jadilah kami semakin akrab karena memang sifat Kubra yang juga sangat baik kepada saya yang baru dikenalnya.
Travel plan sudah saya kantongi, seminggu di peternakan, dua hari di Bursa, empat hari di Izmir, lima hari di perkebunan,  tiga hari di sekolah kuliner, dan enam hari di Istanbul. Saya melakukan perubahan pada jadwal tiket pesawat yang yang mulanya tanggal kepulangan adalah 10 Mei 2014 menjadi 3 Juni 2014, biaya perubahan jadwal ini menghabiskan biaya 150 Dollar Singapur (100 Dollar biaya perubahan, 50 Dollar biaya tiket pulang yang lebih mahal).
Tanggal 3 Mei 2014 saya telah menyelesaikan ujian akhir semester di National University of Singapore dan kemudian berangkatlah saya ke Turki dengan membawa satu koper besar yang beratnya 25 kg (hasil dari tinggal di Singapur selama satu semester), satu rangsel, dan satu tas samping untuk dokumen-dokumen dan barang berharga. Bersambung…..



No comments:

Post a Comment